Pada waktu kakek
Gus Dur masih hidup, beliau menjadi seorang pemimpin sebuah ponpes di Jatim. Alkisah
pada suatu hari datang sepasang suami istri keturunan Tionghoa bertemu beliau,
maksud kdatangan mereka adalah hendak meminta "pesugihan" kepada kakek
Gus Dur, mendengar hal tersebut marahlah para santri di ponpes tersebut, dengan sabar dan bijak
kakek Gus Dur menenangkan para santrinya dan berkata kepada suami-istri
tersebut, "Saya tidak mempunyai ilmu apa-apa, saya hanya memiliki ilmu agama, jikalau
tuan mau, sempurnakanlah bacaan "Bismillah" pasal 5 sebanyak
234 kali". Mendengar hal tersebut suami-istri tadi mengiyakan karena mereka tetap
menyangka bhwa dengan mengamalkan bacaan tersebut mereka akan bertemu
"khodam" sang kyai tersebut (kakek Gus Dur) untuk meminta kekayaan. Seakan
mengetahui hal tersebut kakek Gus Dur berkata kembali, "Apapun yang tuan lihat
setelah mengamalkan bacaan tadi, JANGAN PERNAH TUAN MENYEMBAH SAYA TAPI SEMBAHLAH
TUHANMU".
Singkat cerita
pulanglah sepasang suami-istri tersebut, pada malamnya mereka
mengamalkan bacaan tadi dan
berharap apa yang akan terjadi.sewaktu dalam prosesi mewiridkan amalan
tadi, mereka
seakan-akan melihat kakek Gus Dur sedang merokok dihadapan mereka,
melihat hal ini, sang
istri berkata kepada suaminya, "Mungkin kita disuruh jualan rokok, pa",
lalu si suami berkata kembali, "jualan rokok gimana, cara bikinnya aja
aku gak tau, mungkin kyai tadi meminta kita untuk kasih rokok supaya
kita akan diberi pesugihan
untuk cepat kaya", tapi si istri tetap ngotot dengan pendapatnya,
akhirnya
terjadilah debat pendapat antara keduanya, ditengah-tengah perdebatan
mereka muncul
kembali bayangan kakek Gus Dur sambil merokok tapi kali ini dengan
berkata, "Wah
enaknya rokok ini, kalo orang lain mencobanya munkin banyak yang
tertarik",
selepas berkata tadi, bayangan tersebut lenyap seketika, akhirnya si
suami sadar bahwa
pendapat si istrilah yang benar.
Keesokan harinya,
mereka belanja ke pasar untuk membeli tembakau, cengkeh dan bahan-bahan baku rokok
lainnya. Dengan tekun mereka meracik, dan menjualnya dengan tetap mengamalkan bacaan yang
diberikan oleh kakek Gus Dur tersebut. Singkat cerita mereka akhirnya sukses besar, mereka
memang tidak pernah mengunjungi ponpes itu lagi. Bahkan setelah kepergian sang Kyai tadi,
mereka juga tidak pernah sowan atau berkunjung. Hanya, semasa mereka hidup sebuah pemandangan aneh
selalu terjadi di makam kakek Gus Dur tadi, yaitu suatu pemandangan dimana sepasang suami-istri
keturunan Tionghoa yang selalu menangisi sebuah makam orang pribumi yaitu makam kakek
Gus Dur tadi. Suami-istri inilah orang yang diceritakan pada kisah ini.
Makanya tidak heran
keluarga Gus Dur sangat menghormati toleransi sebuah suku, agama dan ras (SARA).
Nah, kata
"Bismillah" tadi jika didialekkan dengan logat orang keturunan Tionghoa menjadi
"Wismillak" yang kelak menjadi sebuah nama rokok, begitu pula jumlah
bacaan 234 kali tadi menjadi nama sebuah rokok, dan dibawah nama rokok 234 ini
tertulis "fatsal 5" yang merupakan bagian dari amalan
"Bismillah" tadi.
Demikian kisah ini
saya ceritakan, tidak ada maksud mengkampanyekan "Ayo merokok", juga tidak
ada maksud berbicara SARA (Saya banyak bicara hal tersebut pada kisah ini), tapi memang
beginilah kisah yang terjadi. Mohon teguran dari sobat Narayana sekalian jika artikel ini ada indikasi SARA. Terimakasih.
Semoga kisah ini
semakin menambah wawasan sobat Narayana sekalian. (Berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar